Kajian Puisi Oleh
Muhammad Alfian Tuflih
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Ini kali tidak ada yang
mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Lapis
Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa
satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh
bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam
sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu,
yaitu bahasa Indonesia (Pradopo, 1995). Hanya saja, dalam puisi pembicaraan
lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola-pola bunyi yang
bersifat “istimewa” atau khusus, agar didapatkan efek puitis atau nilai
seninya. Ini bisa dilihat pada pola bait pertama dan kedua yaitu a a b b.
Berbeda dengan bait kedua yang berpola a a b b yang saling dipertentangkan. Dari
puisi-pusinya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam menuliskan puisinya,
chairil anwar selain bermain dalam ranah metafora, ia juga begitu memperhatikan
persajakan dalam penulisan puisinya. Misalnya saja. Dari analisis beberapa
puisi ini berdasarkan lapisan suaranya, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”
didominani oleh vokal bersuara berat a dan u. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar
unsur lambang rasanya (klanksymboliek).
Lapis
Arti (units of meaning)
Satuan terkecil disebut
fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok
kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan
sebuah satuan arti (Pradopo, 1995).
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa
penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti
pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak
memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair
ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun
kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan
yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan
gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat
disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar
jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di
sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan
menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan
yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata
mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda
bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana,
dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung
suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah
kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan
imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi
yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada
pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam
sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap
walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak
elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat
itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa
mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air
laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan
kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam
pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin
menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir
yang ada pada tiap larik.
Di dalam puisi ini juga digambarkan rasa cinta namun dalam
bentuk kesedihan yang mendalam yang dialami oleh si aku namun si aku tetap
tegar menghadapinya. Si aku dalam keadaan muram , penuh kegelisahan, dan tidak
sempurna dengan kehidupannya. Si aku sedang mancari cintanya yang hilang. Suasana
pada saat itu gerimis yang menambah rasa kesedihan dari si aku.
Lapis
Ketiga
Lapis satuan arti
menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 1995).
Objek-objek yang
dikemukakan: gudang, rumah tua, kapal, tali, temali, laut, kelepak elang,
ombak, semenanjung. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: ketika si aku
sendirian meratapi keadaannya.
Dunia pengarang adalah
ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar,
pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut:
Si aku merasa kesepian.
Ia telah kehilangan cintanya. Sekarang tidak ada lagi cinta seperti dulu,
dimana mereka selalu bersama. Si aku sennatiasa mencari cintanya, entah itu di
gudang, rumah tua, namun ia tak menemukannya. Kini si aku hanya ditemani sepi.
Hari-harinya ia habiskan dengan menelusuri sepanjang semenanjung disertai suara
elang yang memecah kesunyian.
Walaupun dalam
kesepian, menariknya penulis selalu mencaoba memberikan gambaran kepada kita
tentang beapa tegarnya si aku dalam menghadapi kehidupannya ini.
Lapis
Keempat
Lapis “dunia” yang
tidak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit seperti yang tampak sebagai
berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu, kekasih sia aku
itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “ini kali tidak ada
yang mencari cinta”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana
perasaan si aku setelah ditinggal orang yang dicintainya. Ia pun merasa tidak
perlu mencari cinta karena cintanya telah hilang.
Pada bait kedua,
digambarkan tentang perasaan sia aku dalam menjalani kesendiriaannya. Si aku
hanya ditemani sepi dan kelepak elang. Saking kesepiannya, sampai-samapai si
aku mersa air di pantai yang senantiasa berombak, kini seperti sedang tidur.
Pada bait terakhir,
menyatakan tentang kepasrahan si aku menjalani kehidupannya. Semuanya telah
terjadi, si aku berusaha bangkit. Ia berusaha membangun kembali kehidupan
barunya dan mengucapkan selamat jalan pada masa lalunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar