ANALISIS
PUISI
‘SAJAK
TERJEMAHAN MATAMU’ KARYA ASLAN ABIDIN
SUATU
TINJAUAN STRATA NORMA ROMAN INGARDEN
Oleh:
Muhammad Alfian Tuflih
SAJAK
TERJEMAHAN MATAMU (Karya Aslan Abidin)
dengan
apa aku terjemahkan seribu
perahu
di matamu kekasih? dengan cinta aku
mungkin
tak ikhlas benar. aku bahkan selalu
tersenyum
diam-diam setiap berpikir meninggalkanmu
tetapi
dengan apakah
aku
berhenti membayangkan seluruhmu kekasih
dengan
segenggam pil tidur yang justru membuat aku
bermimpi
memperkosamu
memang
tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan
ini.
hanya
gema tawamu yang terkadang menyadarkanku:
kau
adalah roh yang melahirkan sajakku.
makassar
1994
Lapis Suara (Sound
Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan
suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara)
sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu
ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, yaitu
bahasa Indonesia (Pradopo, 1995). Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis
bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola-pola bunyi yang bersifat
“istimewa” atau khusus, agar didapatkan efek puitis atau nilai seninya. Ini
bisa dilihat pada pola bait pertama a a a a yang saling bersamaan pada fonem
akhirnya (u). Berbeda dengan bait kedua yang berpola a a b b yang saling
dipertentangkan. Apakah-kekasih dipertentangkan dengan aku-memperkosamu.
Sedangkan pada bait ketida dan keempat yang masing-masng terdiri dari dua
baris, masing-masing berpola a a. Dari analisis beberapa puisi ini berdasarkan
lapisan suaranya, puisi “Sajak Terjemahan Matamu” didominani oleh vokal
bersuara berat a dan u, seperti pada tiap bait yang terdapat kata (aku dan
kamu). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar unsur
lambang rasanya (klanksymboliek).
Lapis Arti (units of
meaning)
Satuan terkecil disebut fonem. Satuan
fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat,
alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan sebuah satuan arti
(Pradopo, 1995).
Salah satu keuinkan dari sajak-sajak
yang dibuat, yaitu adanya semacam “keganjilan” antara baris yang satu dengan
baris yang lain dalam satu bait. Jadi unsur “keteratuannya” dalam penulisan
sajak bisa dikatan sangat tidak sesuai dengan kaidah bahasa yang berlaku
sekarang (EYD). Seperti dalam bait pertama:
dengan apa aku
terjemahkan seribu
perahu di matamu
kekasih? dengan cinta aku
mungkin tak ikhlas
benar. aku bahkan selalu
tersenyum diam-diam
setiap berpikir meninggalkanmu
Adapun makna pada yang tersirat dalam
bait ini adalah tentang bagaimana kebingungan sang “aku” terhadap kekasihnya
(Kamu) terhadap perasaanya saat itu. Dalam puisi itu dijelaskan tentang keadaan
sang kekasih “aku” yang begitu sedih. Kesedihannya itu terlihat pada penggunaan
metafora “perahu di mata mu kekasih”. Jika kita menelaah dengan teliti,
penggunaan metafora seribu perahu menggantikan kata tangisan sang kekasih.
Dalam bait ini juga tersirat makna tentang “cinta yang bertepuk sebelah
tangan”. Ini bisa kita lihat pada kalimat “dengan cinta aku mungkin tak ikhlas
benar.”
Pada kalimat “aku bahkan selalu
tersenyum diamdiam setiap berpikir meninggalkanmu”, semakin menjelaskan tentang
hubungan si aku dan kamu yang bertepuk sebelah tangan. Si “aku” dengan
terang-terangan menyatakan bahwa ia selalu berpikir diam-diam untuk
meninggalkan kekasih yang begitu mencintainya. Kesimpulan makana yang tersirat
dalam bait pertama pada puisi “sajak terjemaham matamu” ini adalah tentang
keadaan cinta sang penulis terhadap kekasihnya yang coba ia jelaskan.
Pada
baitu selanjutnya yaitu bait kedua,
Tetapi dengan apakah
Aku berhenti
membayangkan seluruhmu kekasih?
Denagn segenggam pil
tidur yang justru membuat aku
Bermimpi memperkosamu
Pada bait kedua ini, penulis mencoba menggambarkan
tentang kegalauan hatinya. Di satu sisi ia mencoba melupakan kekasihnya, nmaun
di sisi lain ia membutuhkan kekasihnya. Rasa cinta “aku” kepada kekasihnya
justru semakin muncul ketika “aku” mencoba melupakan kekasihnya. Ini bisa kita
lihat pada metafora “dengan segenggam pil tidur yang justru membuat aku
bermimpi memperkosamu.”
Sedangkan pada bait ke tiga dan empat,
memang tak banyak yang
dapat kita catat dari
percintaan ini.
hanya gema tawamu yang
terkadang menyadarkanku:
kau adalah roh yang
melahirkan sajakku.
Pada bait ini terjawab sudahlah
kegalauan si “aku” terhadap kekasihnya. Si “aku” pun mengakhiri hubungannya
dengan kekasihnya, seperti pada kalimat “tak banyak yang dapat kita catat dari
percintaan ini”. Walaupun telah mengakhiri hubungannya, namun ternyata si “aku”
masih begitu mencintai kekasihnya dan sangat berterima kasih terhdap
kekasihnya. Ini terlihat dari metafora “kau adalah roh yang melahirkan
sajakku”. Pada kalimat tadi, terlihat jelas begitu besar peran kekasih “aku”
terhadap dirinya. Kekasih si “aku” dan kisah cinta mereka merupakan sumber
inspirasinya dalam berkarya.
Lapis
Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang
ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang
(Pradopo, 1995).
Objek-objek yang dikemukakan: perahu,
mata, kekasih, cinta, pil tidur, tawa, roh, dan sajak. Pelaku atau tokoh adalah
si aku. Latar waktu: ketika si aku bersama dengan kekasihnya.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang
merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan
jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur
ceritanya (alur); seperti berikut:
Sang kekasih begitu cinta kepada si aku.
Ia pun terkadang menangis karena si aku. Saking banyaknya air matanya,
sampai-sampa ribuan perahu bisa berlayar di air matanya. Si aku awalnya tidak
terlalu cinta kepada kekasihnya. Ia selalu diam-diam mencoba meninggalkan
kekasihnya. Namun setiap si aku mencoba meninggalkan kekasihnya, ia justru
semakin cinta pada kekasihnya. Walaupun pada akhirnya si aku memutuskan
hubungannya, ia pun merasa berterima kasih kepada kekasihnya yang merupakan
sumber inspirasinya.
Lapis
Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah
dinyatakan, tetapi sudah implicit seperti yang tampak sebagai berikut.
Dipandang dari sudut pandang tertentu, kekasih si aku
itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “kau adalah roh yang
melahirkan sajakku”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana
perasaan si aku terhadap orang yang dicintainya. Kekasihnya begitu berharga,
karena kekasihnya adalah roh yang melahirkan sajak-sajaknya.
Pada bait kedua, digambarkan tentang
perasaan sia aku yang begitu ambigu terhadap kekasihnya. Semakin si aku
berusaha melupakan kekasihnya, justru semakin si aku jatuh cinta kepada
kekasihnya. Kalimat yang digunakan penulis pada lapis dunia ini menarik karena
diksi yang digunakan penulis paradoks antara yang satu dan yang lain. Ini
terlihat dari pemilihan kata “pil tidur” dan “memperkosamu”.
Pada bait ketiga dan ke empat, merupakan kesimpulan
dari bait pertama dan kedua. Pada bait ini penulis merelakan perasaannya dan
menerima apa yang telah terjadi. Namun, terlepas dari semua itu, kenangan yang
telah terjadi dengan kekasihnya adalah roh yang melahirkan sajak penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar