Jumat, 07 Desember 2012

SENJA DI PELABUHAN KECIL


Kajian Puisi Oleh Muhammad Alfian Tuflih
SENJA DI PELABUHAN KECIL

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap

Lapis Suara (Sound Stratum)
Sajak tersebut berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan berangkai merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara kalimat. Jadi, lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, yaitu bahasa Indonesia (Pradopo, 1995). Hanya saja, dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola-pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, agar didapatkan efek puitis atau nilai seninya. Ini bisa dilihat pada pola bait pertama dan kedua yaitu a a b b. Berbeda dengan bait kedua yang berpola a a b b yang saling dipertentangkan. Dari puisi-pusinya, kita bisa menarik kesimpulan bahwa dalam menuliskan puisinya, chairil anwar selain bermain dalam ranah metafora, ia juga begitu memperhatikan persajakan dalam penulisan puisinya. Misalnya saja. Dari analisis beberapa puisi ini berdasarkan lapisan suaranya, puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” didominani oleh vokal bersuara berat a dan u. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi ini dari segi lapis suaranya sangat jelas tergambar unsur lambang rasanya (klanksymboliek).
Lapis Arti (units of meaning)
Satuan terkecil disebut fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan sebuah satuan arti (Pradopo, 1995).
Dalam puisi ”Senja di Pelabuhan Kecil” diatas, terasa bahwa penyair sedang dicengkeram perasaan sedih yang teramat dalam. Tetapi seperti pada puisi-puisi Chairil Anwar yang lain, kesedihan yang diungkapkan tidak memberikan kesan cengeng atau sentimental. Dalam kesedihan yang amat dalam, penyair ini tetap tegar. Demikian pula pada puisinya diatas. Di dalamnya tak satu pun kata ”sedih” diucapkannya, tetapi ia mampu berucap tentang kesedihan yang dirasakannya. Pembaca dibawanya untuk turut erta melihat tepi laut dengan gudang-gudang dan rumah-rumah yang telah tua. Kapal dan perahu yang tertambat disana. Hari menjelang malam disertai gerimis. Kelepak burung elang terdengar jauh. Gambaran tentang pantai ini sudah bercerita tentang suatu yang muram, di sana seseorang berjalan seorang diri tanpa harapan, tanpa cinta, berjalan menyusur semenanjung.
Satu ciri khas puisi-puisi Chairil Anwar adalah kekuatan yang ada pada pilihan kata-katanya. Seperti juga pada puisi diatas, setiap kata mampu menimbulkan imajinasi yang kuat, dan membangkitkan kesan yang berbeda-beda bagi penikmatnya. Pada puisi diatas sang penyair berhasil menghidupkan suasana, dengan gambaran yang hidup, ini disebabkan bahasa yang dipakainya mengandung suatu kekuatan, tenaga, sehingga memancarakan rasa haru yang dalam. Inilah kehebatan Chairil Anwar, dengan kata-kata yang biasa mampu menghidupkan imajinasi kita. Judul puisi tersebut, telah membawa kita pada suatu situasi yang khusus. Kata senja berkonotasi pada suasana yang remang pada pergantian petang dan malam, tanpa hiruk pikuk orang bekerja.
Pada bagian lain, gerimis mempercepat kelam, kata kelam sengaja dipilihnya, karena terasa lebih indah dan dalam daripada kata gelap walaupun sama artinya. Setelah kalimat itu ditulisnya, ada juga kelepak elang menyinggung muram, yang berbicara tentang kemuraman sang penyair saat itu. Untuk mengungkapkan bahwa hari-hari telah berlalu dan berganti dengan masa mendatang, diucapkan dengan kata-kata penuh daya: desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal akanan. Penggambaran malam yang semakin gelap dan air laut yang tenang, disajikan dengan kata-kata yang sarat akan makna, yakni: dan kini tanah dan air hilang ombak. Puisi Chairil Anwar ini hebat dalam pilihan kata, disertai ritme yang aps dan permainan bunyi yang semakin menunjang keindahan puisi ini, yang dapat kita rasakan pada bunyi-bunyi akhir yang ada pada tiap larik.
Di dalam puisi ini juga digambarkan rasa cinta namun dalam bentuk kesedihan yang mendalam yang dialami oleh si aku namun si aku tetap tegar menghadapinya. Si aku dalam keadaan muram , penuh kegelisahan, dan tidak sempurna dengan kehidupannya. Si aku sedang mancari cintanya yang hilang. Suasana pada saat itu gerimis yang menambah rasa kesedihan dari si aku.
Lapis Ketiga
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang (Pradopo, 1995).
Objek-objek yang dikemukakan: gudang, rumah tua, kapal, tali, temali, laut, kelepak elang, ombak, semenanjung. Pelaku atau tokoh adalah si aku. Latar waktu: ketika si aku sendirian meratapi keadaannya.
Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut:
Si aku merasa kesepian. Ia telah kehilangan cintanya. Sekarang tidak ada lagi cinta seperti dulu, dimana mereka selalu bersama. Si aku sennatiasa mencari cintanya, entah itu di gudang, rumah tua, namun ia tak menemukannya. Kini si aku hanya ditemani sepi. Hari-harinya ia habiskan dengan menelusuri sepanjang semenanjung disertai suara elang yang memecah kesunyian. 
Walaupun dalam kesepian, menariknya penulis selalu mencaoba memberikan gambaran kepada kita tentang beapa tegarnya si aku dalam menghadapi kehidupannya ini.
Lapis Keempat
Lapis “dunia” yang tidak usah dinyatakan, tetapi sudah implisit seperti yang tampak sebagai berikut.
Dipandang  dari sudut pandang tertentu, kekasih sia aku itu begitu menarik bagi si aku. Ini terlihat dari kalimat “ini kali tidak ada yang mencari cinta”, kalimat ini sangat jelas menceritakan tentang bagaimana perasaan si aku setelah ditinggal orang yang dicintainya. Ia pun merasa tidak perlu mencari cinta karena cintanya telah hilang.
Pada bait kedua, digambarkan tentang perasaan sia aku dalam menjalani kesendiriaannya. Si aku hanya ditemani sepi dan kelepak elang. Saking kesepiannya, sampai-samapai si aku mersa air di pantai yang senantiasa berombak, kini seperti sedang tidur.
Pada bait terakhir, menyatakan tentang kepasrahan si aku menjalani kehidupannya. Semuanya telah terjadi, si aku berusaha bangkit. Ia berusaha membangun kembali kehidupan barunya dan mengucapkan selamat jalan pada masa lalunya.

Pengaruh Bahasa Iklan Terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia


Pengaruh Bahasa Iklan Terhadap Eksistensi Bahasa Indonesia
Oleh: Muhammad Alfian Tuflih

Indonesia merupakan negara yang kaya akan suku bangsa. Kekayaan suku bangsa ini melahirkan berbagai macam budaya yang berbeda di setiap sukunya. Disetiap suku, memiliki bahasa tersendiri yang mereka gunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa yang mereka gunakan inlah yang disebut sebagai bahasa ibu atau bahasa daerah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993), yang dimaksud dengan bahasa daerah adalah bahasa yg lazim dipakai di suatu daerah; bahasa suku bangsa. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa bahasa daerah memiliki peran yang cukup vital dalam perkembangan bahasa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa istilah yang sering digunakan dalam bahasa daerah, karena dianggap sangat urgen, kemudian dimasukkan sebagai bahasa Indonesia.

Di masa modern ini, bahasa pun semakin berkembang. Termasuk juga bahasa Indonesia. Pengaruh modern yang mulai memasuki sendi-sendi sosial rupanya jga telah mengintervensi bahasa. Hal ini wajar saja, karena bahasa itu dapat mempengaruhi sikap manusia, begitupun sebaliknya (Chaer & Agustina, 1995).

Bagaikan pisau yang bermata dua, tidak semua perkembangan modernisasi ini membawa dampak positif bagi pekembangan kebahasaan. Ada juga damapk negatifnya. Jika tidak teliti dalam menyaring bahasa modern, bisa jadi kita akan terpengaruh oleh bahasa modernisasi bahasa.

Dalam hal ini, bahasa modern yang dimaksud adalah bahasa-bahasa dalam iklan. Televisi, radio, dan komputer, merupakan penyalur komunikasi modern nomor satu saat ini. Melalui media inilah bahasa-bahasa iklan berkembang. Media elektronik yang bekerja duapuluh empat jam dianggap sebagai media terbaik untuk menyalurkan iklan. Bagaimana tidak? Hampir semua manusia membuthkan elektronik. Dalam sehari, ada berbagai siaran iklan yang disebarkan media elektronik ini.
Untuk menarik penonton, bahasa-bahasa yang digunakan dalam mempromosikan atau mengiklankan sebuah barang selalu menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah. Bahkan, ada beberapa yang menggunakan bahasa-bahasa baru yang berkembang pesat di kalangan masyarakat khusunya remaja. Bahasa baru yang digunakan dalam iklan inilah yang disebut sebagai bahasa iklan.  Oleh karena itu, terdorong oleh hasrat keingintahun terhadap bahasa iklan dan pengaruhnya terhdapa bahasa Indonesia, karya tulis ini dibuat. Dalam karya tulis ini, fokus kajiannya tetang pengaruh bahasa iklan terhadap eksistensi bahasa Indonesia.

Minggu, 02 Desember 2012

CHAIRIL ANWAR: “SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI”


CHAIRIL ANWAR: “SEKALI BERARTI, SUDAH ITU MATI”
Oleh : M. Alfian Tuflih

Aku mau hidup seribu tahun lagi”, merupakan sebuah baris dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul “Aku” atau “Semangat”. Sajak ini ia tulis pada tahun 1943, ketika usianya genap 20 tahun. Setelah menuliskan sajak ini, enam tahun kemudian Chairil meninggal dunia. Tepatnya pada tahun 1949. Beliau dimakamkan di Karet, tempat yang sebelumnya telah disinggungnya dalam sajaknya yang berjudul “Yang Terampas dan Yang Putus”. Sajak ini adalah sajak terakhir yang ditulisnya sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Berbicara mengenai kehidupan Chairil Anwar, beliau lahir pada tanggal 17 Juli 1922 di Medan, dan meninggal 28 April 1949. Bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Apin, beliau ikut mendirikan Gelangang Seniman Merdeka tahun 1946, kemudian ia menjadi redaktur Gelanggang (Budaya Siasat) tahun 1948-1949. Terakhir, beliau juga pernah menjadi redaktur Gema Suasana di tahun 1949 sebelum kematiannya (Juanda, 2012;100).
 Karya-karya dalam sajak Chairil Anwar telah menjadi sebuah api yang membakar semangat pejuang pada masa itu. Larik-larik puisinya seperti “Hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekali berarti sudah itu mati”, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” bahkan menjadi pepatah atau kata mutiara. Secara lisan mapun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip lepas dari sajaknya. Kanyataan ini membuktikan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar telah memasyarakat.

Chairil anwar juga dianggap sebagai pelopor sastra angkatan ’45. Dalam sajaknya “Aku”, Chairil Anwar membktikan bahwa ia merupakan seorang penyair yang memiliki karakteristik. Sajak yang larik terakhir megawali tulisan ini mengandung antara lain bait berikut:

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya yang terbuang
Biar Peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang.

Dari larik-larik sajak di atas, jelaslah bahwa di samping vitalitas, ada sisi lain kehidupannya yang tergambar. Sisi yang tidak bisa terlepas dari kesenian di negeri ini, sisi “kejalangannya”. Sebagai “binatang jalang” Chairil Anwar muncul sebagai ikon kesenian di Indonesia. Bukan Rustam Efendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah, tetapi Chairil Anwar lah yang dianggap memliki seperangkat ciri seniman: tidak bekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya mnejengkelkan. Asumsi seperti inilah yang berkembang pada masyarakat tentang gambaran seorang seniman. Gambaran yang cocok di analogikan seperti binatang jalang. Tidak berminat mengurus jasmaninya dan lebih mengutamakan khayalannya (Damono,1999;38).
Terlepas dari benar atau tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sesungguhnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam benak masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk hidup dengan cara tersendiri itulah yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum. Chairil Anwar dan cara hidupnya yang jalang telah menjadi semcam mitos; kita selalu lupa bahwa sajak-sajak yang ditulisnya menjelang kematiannya menunjukkan sikap yang matang dan mengendap meski usianya pada saat itu baru 26 tahun.

Penyair yang pada usia 20 tahun ini meneriakkan untuk “hidup seribu tahun lagi”, dan pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan.. sebelum pada akirnya kita menyerah.” Sajak ini merupakan semacam simpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap. Sikap yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses yang begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum pada akhirnya kita menyerah”.

Chairil Anwar memang seorang penyair yang sangat luar biasa. Pemuda yang pendidikan formalnya ini tidak terlalu tinggi bagaikan terang dalam gelap namun juga menjadi setitik nila dan sebelanga susu. Ada begitu banyak pujian dan kontroversi yang dilahirkan penyair ini. Salah satunya tentang penolakan beberapa pihak yang menetapkan tanggal 28 April –hari kematian Chairil Anwar- sebagai hari Sastra Indonesia. Penolakan ini dominan dilatarbelangi oleh “plagiatisme” yang dilakukan oleh Chairil menurut asumsi sekelompok orang.

Memang tak dapat dipungkiri, bahwa ia sempat menerjemahkan dan menyadur larik dari sajak-sajak penyair-penyair dunia seperti Archibald MacLeish, W.H. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Namun, kecerdasan dan dorongan semangatnya untuk menjadi pembaharu menjadikannya mampu mengatasi serba bacaan itu; ia tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang dibacanya, tetapi berusaha benar-benar untuk menguasainya. Salah satu hasilnya adalah sajak saduran “Krawang-Bekasi” dan “Huesca” terjemahan “Poem” karya John Cornford. Sadurannya itu pun kini bisa dikatakan menjadi milik umum, dan ia telah berhasil mencuri perhatian khazanah sastra dunia dnegan sadurannya tadi. T.S Elliot yang salah satu sajaknya pernah diterjemahkan Chairil Anwar menyatakan bahwa “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.”

Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meningal mungkin saja ia sudah dalam puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan banyak sajak yang lebih unggul bila ia hidup lebih lama. Sebaiknya kita tidak usah berandai-andai. Faktanya, Chairil anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Tetapi, ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita.

Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sudah merupakan bagian masa lalu yang sudah tidak pantas diteladani sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan sehingga banyak penyair masa kini beranggapan bahwa sajak-sajak Chairil bukan merupakan sajak masa lampau. Sajak-sajaknya justru dianggap sajak masa depan yang hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.

DAFTAR RUJUKAN:
Juanda. 2012. Pokok dan okoh Sastra. Makassar: Fakultas Bahasa dan Sastra UNM
Damono, S. Djoko. 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakart” Pustaka Firdaus
Jassin, H.B. 1983. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45. Jakarta: PT. Gunung Agung.

BENANG MERAH HISTORIS ANTARA INDONESIA DAN YUNANI


MELACAK BENANG MERAH HISTORIS ANTARA INDONESIA DAN YUNANI
MELAUI KARYA SASTRA
(STUDI SASTRA BANDINGAN ANTARA LEGENDA SANGKURIANG DAN OEDIPUS COMPLEX)

Oleh : M. ALFIAN TUFLIH
SASTRA INDONESIA UNM

Istilah sastra bandingan kali pertama muncul di negara Inggris yang dipelopori oleh para pemikir Perancis seperti Fernand Baldensperger, Jean-Marie Carre’, Paul van Tieghem, dan Marius-Francois Guyard. Sejalan dengan masanya, sastra bandingan pun terbagi dalam dua mazhab besar. Mazhab pertama yaitu mazhab Perancis, sedangkan mazhab kedua adalah mazhab Amerika.
Menurut Hutomo (Uman Rejo, 2011) Aliran Perancis sebagai aliran lama berpendapat bahwa sastra bandingan adalah pembandingan sastra secara sistematik dari dua negara yang berlainan. Sedangkan aliran Amerika berpandangan lebih luas. Aliran Amerika tidak hanya membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berlainan, tetapi juga membandingkan sastra dengan bidang ilmu atau seni tertentu. Oleh aliran Perancis hal tersebut tidak disetujui. Namun dalam praktiknya ternyata aliran Perancis juga melaksanakan konsep aliran Amerika
Berbicara mengenai sastra bandingan tidak bisa dilepaskan dengan pembicaraan tentang sastra nasional, sastra umum, dan sastra dunia. Tiga pengertian sastra tersebut sering tumpang tindih, sehingga seperti yang dikatakan oleh Wellek dan Warren (1989: 47), studi bandingan secara akademis kurang begitu sukses. Walaupun sebenarnya merupakan studi yang sangat penting. Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka diperlukan pemahaman tentang sastra bandingan, sastra nasional, sastra umum dan sastra dunia. Dalam hal ini beberapa pakar sastra telah berupaya untuk memberikan pengertian antara sastra bandingan, sastra nasional, sastra umum dan sastra dunia. Meskipun masih terdapat kekaburan, namun sedikit banyak membantu dalam pemecahan masalah.
Menurut Maman Mahayana (2007) Ada banyak masalah yang timbul ketika kita mencoba berbicara mengenai tujuan dari sastra bandingan. Salah satunya menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Kembali pada asumsi sastra bandingan menurut Renne Wallek (Uman Rejo, 2011) sebagai pendukung aliran Amerika dijelaskan bahwa sastra bandingan pada mulanya muncul dalam studi sastra lisan, khususnya dalam bidang sastra rakyat. Kemudian cerita rakyat ini dicari asal usulnya, daerah penyebarannya, dan transformasinya ke sastra tulis. Menurut Danandjaya (2002;2) folklore atau sastra lisan adalah srbagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisonal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat (menemoic devaic). Sintesa dari dua pernyataan ahli inilah  yang kemudian menngelitik  penulis untuk mencoba membandingkan antara legenda Sangkuriang yang bersal dari Jawa Barat dengan Oedipus Complex dari Yunani. Hal ini dilakukan demi mencari benang merah antara sejarah Yunani dan Indonesia secara umum. Adapun teori yang akan digunakan adalah teori sturkturalisme secara umum dan dikaitkan dengan teori srukturalisme-genetik Goldmann.

Struktralisme Genetik Goldmann
Goldmann menyebut teorinya sebagai teori strukturalisme genetik. Ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur (Faruk, 2012). Istilah strukturalisme genetik sebenarnya merupakan istilah yang erat kaitannya dengan teori perkembangan psikologis oleh seorang psikolog anak bernama Jean Piaget—yang notabene mempengaruhi banyak pemikiran Goldmann dalam mencetuskan strukturalisme genetika—yang aslinya bernama epistemologi genetik (Goldmann 9; “Jean Piaget.” Wikipedia). Menurut Jean Piaget, epistemologi genetik mencoba untuk menjelaskan pengetahuan, dan pengetahuan ilmiah tertentu, berdasarkan sejarahnya (“Jean Piaget.” Wikipedia). Senada dengan Piaget, Goldmann berpendapat bahwa struktur yang dipercayainya terdapat dalam karya sastra bukanlah struktur yang statis, melainkan hasil dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan (Faruk, 2012).
Mungkin akan muncul pertanyaan, jika teori Goldmann adalah juga teori strukturalisme, lalu apakah yang membedakannya dengan teori strukturalis yang lain? Menjawab pertanyaan ini Goldmann menulis: strukturalisme genetik menegaskan bahwa struktur-struktur, yang sudah menjadi sebuah aspek universal dari pikiran, kepekaan, dan perilaku manusia, bisa menggantikan manusia sebagai sebuah subjek historis. Hal inilah menurut Boelhower yang membedakan strukturalisme Goldmann dengan strukturalisme komtemporer yang lain. Boelhower menambahkan, dalam pandangan strukturalisme genetika Goldmann, karya sastra yang dilihat sebagai sebuah struktur haruslah dikaitkan subjek historis, bukan dengan subjek lain di luar lingkungan historis (Goldmann, 1981:10-11).
Untuk menopang teorinya, menurut Faruk (2012), Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lain sehingga membentuk strukturalisme genetik. Kategori-kategori tersebut adalah fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan.
1.      Fakta Kemanusiaan (Human Facts)
Prinsip dasar pertama dari strukturalisme genetik adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia yang dapat dengan jelas dipahami (Goldmann, 1981), atau dengan kata lain adalah segala hasil aktivitas manusia atau perilaku manusia baik yang verbal maupun fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sastra (Faruk, 2012). Goldmann mengatakan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai upaya manusia mengubah dunia, dimana tujuan dari aktivitas-aktivitas tersebut adalah untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara diri manusia (sebagai subjek) dan dunia. Perilaku manusia di atas menjadi bermakna karena membuat mereka memperbaiki keseimbangannya (equilibrium).
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya, selalu terjadi proses timbal-balik yang disebut dengan asimilasi dan akomodasi. Di satu pihak, manusia berusaha mengasimilasi lingkungan sekitarnya, tetapi di lain pihak usaha itu tidak selalu berhasil karena menghadapi rintangan-rintangan.
Adapuan kelemahan dalam teori ini, terletak pada sisi kepengarnagan cerita. Ketika coba membedah menggunkan teori Goldmann, seharusnya keterkaitan antara pengarnag dan cerita sangta erat dan selalu dikaitkan. Namun karena pada sisi ini yang dikaji adalah sastra lisan (legenda), sehingga sulit untuk mencari relasi antara pengarang dan cerita. Salah satu sifat sastra lisan adalah tidak dikethui pengarangnya (anonim).
Jika dikaitkan dengan kisah pada sangkuriang dan Oedipus, kesamaannya terletak pada bagaimana kejadian yang terjadi pada dua tokoh sentral dalam legenda ini. Mereka mempunyai persamaan pada keadaah hidupnya. Mulai dari dibuang ata di usir oleh orang tua, hingga tanpa sadar menikahi orang tuanya. Kesamaan ini tidka leaps dari pengarung lingkungan yang dialami pengarng atau distributor cerita. Logikanya, tidak mungkin sebuah cerita yang notabene sastra lisan mempunyai kesamaan yang sangat dekta klau bukan berasala dari satu sumber cerita. Artinya, bisa disimpulkan bahwa kedua cerita ini bersala dari satu pengararang yang notabene berada pada satu daerah yang sama ketika diceritakan. Kalaupun ada perbedaan pada tokoh, hanya persoalan penyebarn distribusi cerita yang berbeda dari mulut ke mulut. Speerti halnya penyebaran sastra lisan.

2.      Subjek Kolektif
Telah dibahas sebelumnya bahwa fakta kemanusiaan merupakan hasil dari aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek dapat dibagi menjadi dua, sesuai dengan fakta yang dihasilkannya: subjek individual yang menghasilkan fakta individual (libidinal), dan subjek kolektif yang menghasil fakta sosial (historis).
Strukturalisme genetika melihat subjek kolektif sebagai sesutau yang penting karena subjek kolektif mampu menghasilkan karya-karya kultural yang besar yang sering menjadi topik utama dalam karya sastra, contohnya revolusi sosial, politik dan ekonomi (Faruk, 2012: 14-15). Jika kita menggunakan terminology Goldmann, maka fakta-fakta sosial tersebut dihasilkan oleh subjek trans-individual (Goldmann, 1981:97), dimana subjek trans-individual bukanlah individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan merupakan suatu kesatuan, satu kolektivitas (Faruk, 2012:15).
Berbicara mengenai subjek kolektif, tidak dapat lepas dari keadaan ataupun relasi individu dengan dunia sosialnya. Bagaiman individu mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya. Coba mengitkan dengan kedua legenda ini. Ketika berbicara mengenai subjek kolektifnya, kita dihapkan pada bagaimana proses penetrasi lingkungan sosial dan kebahasaan yang terjdi sehingga ada perbedaan nama tokoh dan setting pada cerita.
Kemungkinan ini sangat jelas terjadi. Oedipus yang berasal dari yunani kuno dan sangkuriangn yang berasal dari Indonesia sacara interteksutal mempunyai latar dan alur cerita yang sama. Perbedaan yang kemudian terjadi karena pengaruh lingkungan, seperti yang sudah disebeutkan sebelumnya. Apalagi penyebarannya melalui lisan yang selalu mendapat improvisasi cerita dari individu yang satu ke individu yang lain ketika disebrkan/diceritakan.  
3.      Pandangan Dunia (World View)
Pandangan dunia adalah sebuah perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981:111). Pandangan dunia adalah fakta historis dan sosial, yang merupakan keseluruhan cara berfikir, perasaan dan tindakan dimana pada situasi tertentu membuat manusia menemukan diri mereka dalam situasi ekonomi dan sosial yang sama pada kelompok sosial tertentu (Goldmann, 1981:112). Karena merupakan fakta sosial yang berasal dari interaksi antara subjek kolektif dengan sekitarnya, pandangan dunia tidak muncul dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru.
Berbicara menganai fakta historis, relasi antara Indonesia dan Yunani kuno tidak dapat dilepaskan. Dari segi budaya, ada banyak kesamaan kedua daerah ini. Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. Santos yang meneliti tentang Indonesia dan Yunani melalui bukunya ATLANTIS. Beliau mengungkapkan bahwa secara geografis, memang terbukti bahwa Indonesia dan Yunani kuno dulu merupakan satu kesatuan. Dari pendapat inilah kemudian terpikirkan bahwa antara cerita Oedipus dan sangkuriang jelas relasi kekrabatannya, bahkan mungkin merupakan satu cerita yang sama. Sedangkan dua pulau yang berbeda saja bisa memiliki bahasa dan cerita yang sama, apalagi kalau pulau tersebut dulu merupakan satu kesatuan. Hal itu mempermudah penyebaran sastra lisannya. Termasuk penyebaran legenda Oedipus complex dan sangkuriang. 
4.      Struktur Karya Sastra
Sebagaimana yang disampaikan di atas, karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Karena itulah strukturalisme genetik melihat karya sastra sebagai struktur koheren yang terpadu. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, dimana pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner pula. Hal itulah juga yang menurut Goldmann membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi.
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa Goldmann ternyata memfokuskan perhatiannya pada hubungan antar tokoh dan antara tokoh dengan lingkungannya. Dalam bukunya The Sociology of Literature: Status and Problem of Method, Goldman mengatakan bahwa hampir seluruh karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, dalam rangka menguak struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan karya sastra.
Dalam kaitannya dengan konsep struktur karya sastra, Goldmann berpendapat bahwa novel merupakan cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi, dan pencarian itu dilakukan oleh seorang pahlawan (hero) yang problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel. Dengan begitu, nilai-nilai tersebut hanya dapat dilihat dari kecederungan terdegradasinya dunia dan problematiknya sang hero. Itulah sebabnya, nilai otentik hanya berbentuk konseptual dan abstrak , serta hanya berada dalam kesadaran penulisnya (Faruk, 2012:18).
Diantara bagian-bagian tadi, struktur merupakan bagian yang paling kuat ketika kita membandingkan kedua cerita ini. Secara struktur kedua cerita ini sama persis. Adapun perbedaannya hanya pada nama dan latar cerita.
Pada Oedipus complex, secara sederhana menceritakan tentang seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya kemudian dalam perjalanan hidupnya, tanpa sadar ia membunuh ayah kandungnya. Setelah itu ia menikah dengan ibu kandungnya. Hal yang sama juga secara strktur terjadi pada cerita sangkuriang. Sama persis. Perbedaan yang paling mencolok hanya pada bagian akhir cerita. Kalau Oedipus melarikan diri dengan anaknya, sangkuriang entah tiba-tiba menghiang setelah gagal melaksankan tugasnya. Kedektan struktur inilah yang semakin mengutkan asumsi penulis tentang hubungan kedua cerita ini.
5.      Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Dalam perspektif strukturalisme genetik, karya sastra merupakan sebuah struktur koheren yang memiliki makna. Dalam memahami makna itu Goldmann mengembangkan metode yang bernama metode dialektik. Prinsip dasar metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Untuk itu metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yaitu “keseluruhan-bagian” dan “pemahaman-penjelasan”.
Dialektik memandang bahwa tidak ada titik awal yang secara mutlak sahih dan tak ada persoalan yang secara mutlak pasti terpecahkan. Setiap gagasan individual akan berarti jika ditempatkan dalam keseluruhan, demikian juga keseluruhan hanya dapat dipahami dengan menggunakan fakta-fakta parsial yang terus bertambah. Dengan kata lain, keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian, dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan.
Sebagai sebuah struktur, karya sastra terdiri dari bagian-bagian yang lebih kecil, yang mana dengan mengidentifikasinya akan membantu kita memahami apa sebenarnya karya tersebut. Namun teks sastra itu sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar yang membuatnya menjadi struktur yang berarti. Dalam memahaminya harus juga desertai usaha menjelaskanya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Inilah sebenarnya konsep dialektika “pemahaman-penjelasan”, dimana pemahaman adalah usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk mengerti makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. (Faruk, 2012)
KESIMPULAN :
Sebagai kesimpulan berdasarkan uraian sederhana antara cerita Oedipus Complex dan Sangkuriang, penulis berpendapat bahwa kedua cerita ini memang bersal dari satu sumber yang sama. Cerita ini sebenarnya berasal dari satu kisah yang sama. Perbedaan yang terjadi pada nama tokoh dan latar kemungkinan dipengaruhi oleh lisan yang menyebarkannya. Pendapat ini juga diperkuat oleh tulisan Prof. Santos yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang notabene merupakan Yunani Kuno.

Referensi:
Mahayana, Maman. 2007. Sastra Bandingan: Pintu Masuk Kajian Budaya
Studi Kasus Romeo Dan Julia, Sonezaki Shinju, Uda Dan Dara
. Artikel ini adalah Kertas Kerja Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarbangsa 2007 diselenggarakan Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia, Kuala Lumpur, 8—9 Juni 2007.
Rejo, Uman. 2011. Sejarah dan Teori Sastra Bandingan. Wringinanom: 5 April 2011
Wellek, Rena dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (diterjemahkan Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.
“Jean Piaget.” Wikipedia. 27 Okt. 2010. <http://en.wikipedia.org/wiki/Jean_ Piaget#Genetic_ epistemology>
Faruk, Dr. Pengantar Sosiologi Sastra: dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012.