MELACAK BENANG MERAH HISTORIS ANTARA INDONESIA DAN YUNANI
MELAUI KARYA SASTRA
(STUDI SASTRA BANDINGAN ANTARA
LEGENDA SANGKURIANG DAN OEDIPUS COMPLEX)
Oleh : M. ALFIAN TUFLIH
SASTRA INDONESIA UNM
Istilah
sastra bandingan kali pertama muncul di negara Inggris yang dipelopori oleh
para pemikir Perancis seperti Fernand Baldensperger, Jean-Marie Carre’, Paul
van Tieghem, dan Marius-Francois Guyard. Sejalan dengan masanya, sastra bandingan pun terbagi dalam
dua mazhab besar. Mazhab pertama yaitu mazhab Perancis, sedangkan mazhab kedua
adalah mazhab Amerika.
Menurut Hutomo (Uman Rejo, 2011) Aliran Perancis sebagai aliran lama berpendapat bahwa sastra
bandingan adalah pembandingan sastra secara sistematik dari dua negara yang
berlainan. Sedangkan aliran Amerika berpandangan lebih luas. Aliran Amerika
tidak hanya membandingkan dua karya sastra dari dua negara yang berlainan,
tetapi juga membandingkan sastra dengan bidang ilmu atau seni tertentu. Oleh
aliran Perancis hal tersebut tidak disetujui. Namun dalam praktiknya ternyata
aliran Perancis juga melaksanakan konsep aliran Amerika
Berbicara
mengenai sastra bandingan tidak bisa dilepaskan dengan pembicaraan tentang
sastra nasional, sastra umum, dan sastra dunia. Tiga pengertian sastra tersebut
sering tumpang tindih, sehingga seperti yang dikatakan oleh Wellek dan Warren
(1989: 47), studi bandingan secara akademis kurang begitu sukses. Walaupun
sebenarnya merupakan studi yang sangat penting. Untuk mengatasi permasalahan di
atas, maka diperlukan pemahaman tentang sastra bandingan, sastra nasional,
sastra umum dan sastra dunia. Dalam hal ini beberapa pakar sastra telah
berupaya untuk memberikan pengertian antara sastra bandingan, sastra nasional,
sastra umum dan sastra dunia. Meskipun masih terdapat kekaburan, namun sedikit
banyak membantu dalam pemecahan masalah.
Menurut Maman Mahayana (2007) Ada
banyak masalah yang timbul ketika kita mencoba berbicara mengenai tujuan dari
sastra bandingan. Salah satunya
menyangkut praktik sastra bandingan sebagai sebuah kajian. Apakah praktik
sastra bandingan hanya sebatas membandingkan dua teks sastra atau lebih jauh
dari itu dengan mencantelkan analisis atau interpretasinya pada kebudayaan dan
kehidupan kemasyarakatan yang melahirkannya. Jika perbandingannya itu hanya
menyangkut dua atau lebih teks sastra yang berbeda, maka hasil perbandingan itu
hanya akan sampai pada perbedaan dan persamaan tekstual. Dari sana mungkin kita
akan sampai juga pada persoalan reputasi dan penetrasi, dan
pengaruh-mempengaruhi. Jika demikian halnya, maka perbandingan itu akan tetap
berkutat pada persoalan tekstual. Jadi, apakah tujuan sastra bandingan hanya
sampai pada pengungkapan perbedaan dan persamaan dua teks atau lebih. Oleh
karena itu, patutlah dipertimbangkan tujuan sastra bandingan yang tidak hanya
sampai pada perbandingan dua teks sastra yang berbeda dan mengungkapkan
persamaan dan perbedaan tekstual, tetapi juga coba menelusuri persamaan dan
perbedaannya itu sebagai bagian dari dua produk budaya yang dilahirkan dari dua
kehidupan sosio-budaya yang berbeda.
Kembali pada asumsi sastra bandingan menurut Renne
Wallek (Uman Rejo,
2011) sebagai pendukung aliran Amerika
dijelaskan bahwa sastra bandingan pada mulanya muncul dalam studi sastra lisan,
khususnya dalam bidang sastra rakyat. Kemudian cerita rakyat ini dicari asal
usulnya, daerah penyebarannya, dan transformasinya ke sastra tulis. Menurut Danandjaya (2002;2)
folklore atau sastra lisan adalah srbagian kebudayaan suatu kolektif, yang
tersebar dan diwariskan secara turun temurun, diantara kolektif macam apa saja,
secara tradisonal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai gerak isyarat (menemoic
devaic). Sintesa dari dua pernyataan ahli inilah yang kemudian menngelitik penulis untuk mencoba membandingkan antara
legenda Sangkuriang yang bersal dari Jawa Barat dengan Oedipus Complex dari
Yunani. Hal ini dilakukan demi mencari benang merah antara sejarah Yunani dan
Indonesia secara umum. Adapun teori yang akan digunakan adalah teori
sturkturalisme secara umum dan dikaitkan dengan teori srukturalisme-genetik
Goldmann.
Struktralisme Genetik Goldmann
Goldmann menyebut teorinya sebagai teori
strukturalisme genetik. Ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur
(Faruk, 2012). Istilah strukturalisme genetik sebenarnya merupakan istilah yang
erat kaitannya dengan teori perkembangan psikologis oleh seorang psikolog anak
bernama Jean Piaget—yang notabene mempengaruhi banyak pemikiran Goldmann dalam
mencetuskan strukturalisme genetika—yang aslinya bernama epistemologi genetik
(Goldmann 9; “Jean Piaget.” Wikipedia). Menurut Jean Piaget,
epistemologi genetik mencoba untuk menjelaskan pengetahuan, dan pengetahuan
ilmiah tertentu, berdasarkan sejarahnya (“Jean Piaget.” Wikipedia).
Senada dengan Piaget, Goldmann berpendapat bahwa struktur yang dipercayainya
terdapat dalam karya sastra bukanlah struktur yang statis, melainkan hasil dari
proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi
yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan
(Faruk, 2012).
Mungkin akan muncul pertanyaan, jika teori Goldmann
adalah juga teori strukturalisme, lalu apakah yang membedakannya dengan teori
strukturalis yang lain? Menjawab pertanyaan ini Goldmann menulis:
strukturalisme genetik menegaskan bahwa struktur-struktur, yang sudah menjadi
sebuah aspek universal dari pikiran, kepekaan, dan perilaku manusia, bisa
menggantikan manusia sebagai sebuah subjek historis. Hal inilah menurut Boelhower
yang membedakan strukturalisme Goldmann dengan strukturalisme komtemporer yang
lain. Boelhower menambahkan, dalam pandangan strukturalisme genetika Goldmann,
karya sastra yang dilihat sebagai sebuah struktur haruslah dikaitkan subjek
historis, bukan dengan subjek lain di luar lingkungan historis (Goldmann,
1981:10-11).
Untuk menopang teorinya, menurut Faruk (2012),
Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling berkaitan satu sama lain
sehingga membentuk strukturalisme genetik. Kategori-kategori tersebut adalah
fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan
penjelasan.
1.
Fakta Kemanusiaan (Human Facts)
Prinsip dasar pertama dari strukturalisme genetik
adalah fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan adalah hasil dari perilaku manusia
yang dapat dengan jelas dipahami (Goldmann, 1981), atau dengan kata lain adalah
segala hasil aktivitas manusia atau perilaku manusia baik yang verbal maupun
fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud
aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural
seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan sastra (Faruk, 2012).
Goldmann mengatakan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai upaya manusia mengubah
dunia, dimana tujuan dari aktivitas-aktivitas tersebut adalah untuk mencapai
keseimbangan yang lebih baik antara diri manusia (sebagai subjek) dan dunia.
Perilaku manusia di atas menjadi bermakna karena membuat mereka memperbaiki
keseimbangannya (equilibrium).
Dalam hubungan manusia dengan lingkungannya, selalu
terjadi proses timbal-balik yang disebut dengan asimilasi dan akomodasi. Di
satu pihak, manusia berusaha mengasimilasi lingkungan sekitarnya, tetapi di
lain pihak usaha itu tidak selalu berhasil karena menghadapi rintangan-rintangan.
Adapuan kelemahan dalam teori ini, terletak pada sisi
kepengarnagan cerita. Ketika coba membedah menggunkan teori Goldmann,
seharusnya keterkaitan antara pengarnag dan cerita sangta erat dan selalu
dikaitkan. Namun karena pada sisi ini yang dikaji adalah sastra lisan
(legenda), sehingga sulit untuk mencari relasi antara pengarang dan cerita.
Salah satu sifat sastra lisan adalah tidak dikethui pengarangnya (anonim).
Jika dikaitkan dengan kisah pada sangkuriang dan
Oedipus, kesamaannya terletak pada bagaimana kejadian yang terjadi pada dua
tokoh sentral dalam legenda ini. Mereka mempunyai persamaan pada keadaah
hidupnya. Mulai dari dibuang ata di usir oleh orang tua, hingga tanpa sadar
menikahi orang tuanya. Kesamaan ini tidka leaps dari pengarung lingkungan yang
dialami pengarng atau distributor cerita. Logikanya, tidak mungkin sebuah
cerita yang notabene sastra lisan mempunyai kesamaan yang sangat dekta klau
bukan berasala dari satu sumber cerita. Artinya, bisa disimpulkan bahwa kedua
cerita ini bersala dari satu pengararang yang notabene berada pada satu daerah
yang sama ketika diceritakan. Kalaupun ada perbedaan pada tokoh, hanya
persoalan penyebarn distribusi cerita yang berbeda dari mulut ke mulut. Speerti
halnya penyebaran sastra lisan.
2.
Subjek Kolektif
Telah dibahas sebelumnya bahwa fakta kemanusiaan
merupakan hasil dari aktivitas manusia sebagai subjeknya. Subjek dapat dibagi
menjadi dua, sesuai dengan fakta yang dihasilkannya: subjek individual yang
menghasilkan fakta individual (libidinal), dan subjek kolektif yang menghasil
fakta sosial (historis).
Strukturalisme genetika melihat subjek kolektif
sebagai sesutau yang penting karena subjek kolektif mampu menghasilkan
karya-karya kultural yang besar yang sering menjadi topik utama dalam karya sastra,
contohnya revolusi sosial, politik dan ekonomi (Faruk, 2012: 14-15). Jika kita
menggunakan terminology Goldmann, maka fakta-fakta sosial tersebut dihasilkan
oleh subjek trans-individual (Goldmann, 1981:97), dimana subjek
trans-individual bukanlah individu-individu yang berdiri sendiri-sendiri,
melainkan merupakan suatu kesatuan, satu kolektivitas (Faruk, 2012:15).
Berbicara mengenai subjek kolektif, tidak dapat lepas
dari keadaan ataupun relasi individu dengan dunia sosialnya. Bagaiman individu
mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya. Coba mengitkan dengan kedua legenda
ini. Ketika berbicara mengenai subjek kolektifnya, kita dihapkan pada bagaimana
proses penetrasi lingkungan sosial dan kebahasaan yang terjdi sehingga ada
perbedaan nama tokoh dan setting pada cerita.
Kemungkinan ini sangat jelas terjadi. Oedipus yang
berasal dari yunani kuno dan sangkuriangn yang berasal dari Indonesia sacara
interteksutal mempunyai latar dan alur cerita yang sama. Perbedaan yang
kemudian terjadi karena pengaruh lingkungan, seperti yang sudah disebeutkan
sebelumnya. Apalagi penyebarannya melalui lisan yang selalu mendapat
improvisasi cerita dari individu yang satu ke individu yang lain ketika
disebrkan/diceritakan.
3.
Pandangan Dunia (World View)
Pandangan dunia adalah sebuah perspektif yang koheren
dan terpadu mengenai manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta
(Goldmann, 1981:111). Pandangan dunia adalah fakta historis dan sosial, yang
merupakan keseluruhan cara berfikir, perasaan dan tindakan dimana pada situasi tertentu
membuat manusia menemukan diri mereka dalam situasi ekonomi dan sosial yang
sama pada kelompok sosial tertentu (Goldmann, 1981:112). Karena merupakan fakta
sosial yang berasal dari interaksi antara subjek kolektif dengan sekitarnya,
pandangan dunia tidak muncul dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang
lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas
yang baru.
Berbicara menganai fakta historis, relasi antara
Indonesia dan Yunani kuno tidak dapat dilepaskan. Dari segi budaya, ada banyak
kesamaan kedua daerah ini. Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. Santos yang
meneliti tentang Indonesia dan Yunani melalui bukunya ATLANTIS. Beliau
mengungkapkan bahwa secara geografis, memang terbukti bahwa Indonesia dan
Yunani kuno dulu merupakan satu kesatuan. Dari pendapat inilah kemudian
terpikirkan bahwa antara cerita Oedipus dan sangkuriang jelas relasi
kekrabatannya, bahkan mungkin merupakan satu cerita yang sama. Sedangkan dua
pulau yang berbeda saja bisa memiliki bahasa dan cerita yang sama, apalagi
kalau pulau tersebut dulu merupakan satu kesatuan. Hal itu mempermudah
penyebaran sastra lisannya. Termasuk penyebaran legenda Oedipus complex dan
sangkuriang.
4.
Struktur Karya Sastra
Sebagaimana yang disampaikan di atas, karya sastra
yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Karena itulah
strukturalisme genetik melihat karya sastra sebagai struktur koheren yang
terpadu. Menurut Goldmann, karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia
secara imajiner, dimana pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek,
dan relasi-relasi secara imajiner pula. Hal itulah juga yang menurut Goldmann
membedakan karya sastra dari filsafat dan sosiologi.
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa
Goldmann ternyata memfokuskan perhatiannya pada hubungan antar tokoh dan antara
tokoh dengan lingkungannya. Dalam bukunya The Sociology of Literature:
Status and Problem of Method, Goldman mengatakan bahwa hampir seluruh
karyanya penelitian dipusatkan pada elemen kesatuan, dalam rangka menguak
struktur yang koheren dan terpadu yang mengatur keseluruhan karya sastra.
Dalam kaitannya dengan konsep struktur karya sastra,
Goldmann berpendapat bahwa novel merupakan cerita tentang pencarian yang
terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi,
dan pencarian itu dilakukan oleh seorang pahlawan (hero) yang
problematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik itu adalah totalitas
yang secara tersirat muncul dalam novel. Dengan begitu, nilai-nilai tersebut
hanya dapat dilihat dari kecederungan terdegradasinya dunia dan problematiknya
sang hero. Itulah sebabnya, nilai otentik hanya berbentuk konseptual dan
abstrak , serta hanya berada dalam kesadaran penulisnya (Faruk, 2012:18).
Diantara bagian-bagian tadi, struktur merupakan bagian
yang paling kuat ketika kita membandingkan kedua cerita ini. Secara struktur
kedua cerita ini sama persis. Adapun perbedaannya hanya pada nama dan latar
cerita.
Pada Oedipus complex, secara sederhana menceritakan
tentang seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya kemudian dalam perjalanan
hidupnya, tanpa sadar ia membunuh ayah kandungnya. Setelah itu ia menikah
dengan ibu kandungnya. Hal yang sama juga secara strktur terjadi pada cerita
sangkuriang. Sama persis. Perbedaan yang paling mencolok hanya pada bagian
akhir cerita. Kalau Oedipus melarikan diri dengan anaknya, sangkuriang entah
tiba-tiba menghiang setelah gagal melaksankan tugasnya. Kedektan struktur
inilah yang semakin mengutkan asumsi penulis tentang hubungan kedua cerita ini.
5.
Dialektika Pemahaman-Penjelasan
Dalam perspektif strukturalisme genetik, karya sastra
merupakan sebuah struktur koheren yang memiliki makna. Dalam memahami makna itu
Goldmann mengembangkan metode yang bernama metode dialektik. Prinsip dasar metode
dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi di atas adalah
pengetahuannya mengenai fakta-fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila
tidak dibuat konkret dengan mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan. Untuk itu
metode dialektik mengembangkan dua pasangan konsep yaitu “keseluruhan-bagian”
dan “pemahaman-penjelasan”.
Dialektik memandang bahwa tidak ada titik awal yang
secara mutlak sahih dan tak ada persoalan yang secara mutlak pasti terpecahkan.
Setiap gagasan individual akan berarti jika ditempatkan dalam keseluruhan,
demikian juga keseluruhan hanya dapat dipahami dengan menggunakan fakta-fakta
parsial yang terus bertambah. Dengan kata lain, keseluruhan tidak dapat
dipahami tanpa bagian, dan bagian tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan.
Sebagai sebuah struktur, karya sastra terdiri dari
bagian-bagian yang lebih kecil, yang mana dengan mengidentifikasinya akan
membantu kita memahami apa sebenarnya karya tersebut. Namun teks sastra itu
sendiri merupakan bagian dari keseluruhan yang lebih besar yang membuatnya
menjadi struktur yang berarti. Dalam memahaminya harus juga desertai usaha
menjelaskanya dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Inilah
sebenarnya konsep dialektika “pemahaman-penjelasan”, dimana pemahaman adalah
usaha untuk mengerti identitas bagian, sedangkan penjelasan adalah usaha untuk
mengerti makna itu dengan menempatkannya dalam keseluruhan yang lebih besar.
(Faruk, 2012)
KESIMPULAN :
Sebagai
kesimpulan berdasarkan uraian sederhana antara cerita Oedipus
Complex dan Sangkuriang, penulis berpendapat bahwa kedua cerita ini memang
bersal dari satu sumber yang sama. Cerita ini
sebenarnya berasal dari satu kisah yang sama. Perbedaan yang terjadi pada nama
tokoh dan latar kemungkinan dipengaruhi oleh lisan yang menyebarkannya.
Pendapat ini juga diperkuat oleh tulisan Prof. Santos yang mengatakan bahwa
Indonesia adalah Atlantis yang notabene merupakan Yunani Kuno.
Referensi:
Mahayana, Maman. 2007. Sastra
Bandingan: Pintu Masuk Kajian Budaya
Studi Kasus Romeo Dan Julia, Sonezaki Shinju, Uda Dan Dara. Artikel ini adalah Kertas Kerja
Seminar Kesusasteraan Bandingan Antarbangsa 2007 diselenggarakan Persatuan
Kesusasteraan Bandingan Malaysia, Kuala Lumpur, 8—9 Juni 2007.
Rejo, Uman. 2011. Sejarah dan Teori Sastra Bandingan. Wringinanom:
5 April 2011
Wellek,
Rena dan Austin Warren. 1989. Teori
Kesusastraan (diterjemahkan Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia.
“Jean Piaget.”
Wikipedia. 27 Okt. 2010. <
http://en.wikipedia.org/wiki/Jean_ Piaget#Genetic_
epistemology>
Faruk, Dr. Pengantar Sosiologi Sastra: dari
Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme. Jakarta: Pustaka Pelajar,
2012.